Pages

Minggu, 31 Oktober 2010

PENGALAMAN DOKTER YANG SUDAH MENGKONSUMSI BROWN RICE



Letkol (Purn.) dr. Yusuf Nursalim, dokter pensiunan TNI AD ini masih buka praktik di Bandung, menguraikan pengalaman menggunakan brown rice yang mengandung bekatul sebagai makanan tambahan dalam mengobati penyakit selama kurun waktu antara 5 – 10 tahun.

Saya sekarang sudah berumur 78 tahun dan sudah berpraktik sebagai dokter militer dan dokter umum kurang lebih 40 tahun. Sebelum mengulas tentang bekatul, sebagai pendahuluan saya ingin memperkenalkan tentang vitamin B15, yang sebagian besar dokter di Indonesia mungkin belum dikenal.

Vitamin B15, disebut juga Pangamic acid atau menurut struktur kimianya disebut Gluconodimethylamino-acetic-acid, ditemukan oleh seorang dokter ahli biokimia, Dr. Krebs Junior dari San Francisco AS, tahun 1952.

Penemuan dokter tersebut ditentang oleh Food & Drug Administration (FDA) Amerika Serikat (Depkesnya AS). Dr. Krebs dan teman-temannya kemudian mengembangkannya secara diam-diam di Uni Soviet, dalam kurun 10 tahun B15 sudah dipakai secara luas sebagai obat umum.

Penyakit yang diobati dengan B15 diantaranya kencing manis (diabetes mellitus), tekanan darah tinggi(hipertensi), bengek (asma), kolestrol dan gangguan aliran pembuluh darah jantung (coronair insuffsiency), serta penyakit hati. Menurut Udalov (seorang peneliti Rusia), vitamin B15 merupakan sumber gugusan methyl yang labil (mudah dilepas dari ikatan induknya), sangat diperlukan dalam proses metabolisme melalui proses methylation untuk pembentukan adrenalin (zat antiasma).

Methylation juga sangat esensial bagi pembentukan phosphocreatin, zat penting untuk metabolisme otot jantung dan tubuh. Vitamin B15 juga dapat meningkatkan oksigen intake di dalam otak serta menambah sirkulasi darah perifier dan oksigenisasi jaringan otot jantung.

Kandungan brown rice yang mengandung bekatul Di Indonesia, B15 tidak beredar. Jika ada juga mungkin sangat terbatas. B15 di Indonesia ditemukan dalam bentuk brown rice brand (dedak) alias beras yang mengandung bekatul. Brown rice kaya kandungan protein, mineral, lemak, vitamin B kompleks (B1, B2, B3, B5, B6, dan B15), serta serat pencernaan (dietary fibres). Konsentrasi B15 per 100 gram paling tinggi pada bekatul (200 mg), kemudian pada jagung 150 mg, havermut 100 mg, dan pada dedak gandum 30 mg.

Itulah kutipan tulisan yang secara jelas menguraikan komposisi zat yang dikandung oleh beras, dan kandungan nutrisi dari bekatul. Kedua tulisan tersebut memberikan informasi dan gambaran yang cukup memadai tentang betapa lengkapnya nutrisi yang dikandung oleh brown rice, dan betapa ironisnya bahwa pada proses penggilingan beras selanjutnya menjadi beras putih yang dikonsumsi oleh sebagian besar rakyat Indonesia, sebagian nutrisi yang sangat penting untuk kesehatan tersebut ternyata terbuang begitu saja.

Kandungan nutrisi yang ada pada beras putih yang kita gemari tersebut ternyata praktis tinggal karbohidrat semata.

Nah lho….??!!

Sering terbaca dan terdengar bahwa dengan gizi yang tidak seimbang, antara lain jika terlalu banyak mengkonsumsi tepung-tepungan-salah satunya adalah beras-akan berpotensi mengundang penyakit diabetes melitus. Dan diberitakan pula bahwa penyakit yang satu ini sangat akrab menjangkiti rakyat Indonesia, mulai dari rakyat kecil sampai mereka yang lebih makmur tapi punya pola makan dan pola hidup yang salah.

Tapi….ya sekali lagi tapi….penelitian Krebs dan Udalof diatas menunjukkan bahwa vitamin B15 yang terdapat dalam bekatul ternyata dapat digunakan secara efektif untuk mengobati diabetes mellitus + sederetan penyakit-penyakit “kelas berat” diatas. Mungkinkah mudahnya sebagian anggota masyarakat di Indonesia terkena diabetes mellitus terkait dengan “kebijaksanaan” untuk mengkonsumsi beras putih diatas, dan “memberikan” B15 yang justru dibutuhkannya kepada ternaknya ?

Maha Besar Allah, Maha Suci Allah yang telah mengkarunai umat manusia dengan tanaman bernama padi ini dengan kandungannya yang sangat lengkap tersebut. Hanya kebodohan yang sempurnalah yang menyebabkan sang manusia membuang dengan sengaja bagian penting dari karunia tersebut dan hanya mengambil bagian yang “mengenyangkan” saja…….

Atau…(maaf) adakah kemungkinan bahwa ada suatu “grand design” dibelakang penggiringan rakyat untuk lebih menyukai beras putih ini ? Adakah pihak luar (ini tampaknya bukan idee bangsa kita sendiri yang masing-masingnya sudah mengkonsumsi berkarung-karung beras putih selama masa usianya) yang dalam jangka panjang ingin me“rekayasa” makanan harian rakyat Indonesia agar mereka menjadi bangsa yang selalu bermasalah dengan kesehatannya (termasuk pertumbuhan dan kesehatan otaknya) agar mereka menjadi pemalas, bodoh, antobodinya gampang terganggu, dan karenanya selalu bermasalah dengan kesehatannya.

Dan kalau mereka sudah menjadi bodoh dan penyakitan, asset kekayaan alam mereka akan sangat mudah untuk diakali, disamping ketergantungan yang sangat pada obat-obatan produk industri farmasi yang minimal sebagian besar bahan bakunya diimport dari negara luar.

Ataukah saya yang sudah menjadi paranoid, berhalusinasi, dan berimaginasi secara berlebihan tentang hal-hal yang menakutkan ini ? Tapi…tunggu dulu. Sewaktu sering mengunjungi huller di Cianjur dan Garut diatas, saya terkadang melihat huller tersebut memoles (polished) beras yang bagian luarnya sudah rusak karena proses penggudangan yang lama. Ternyata sesudah dipoles, beras tersebut dioplos (dicampur) dengan beras lain yang lebih baik untuk dilempar kembali ke pasaran.

Kenapa harus dioplos ? Karena beras rusak yang dipoles tadi sudah menjadi sangat kurus dan terkesan panjang. Warnanya ? Putih berkilat dan meyakinkan ! Jadi mungkin dapat disimpulkan bahwa andai rakyat berorientasi pada konsumsi brown rice, ”kelakuan” seperti ini tidak mungkin dapat dilakukan, karena bakalan tidak laku. Sejumlah anggota masyarakat sudah mencoba mengoreksi kesalahan mereka ini dengan mengubah beras yang mereka konsumsi.

Tapi yang terjadi lagi-lagi keanehan atau anomali. Bagi yang mencoba mengganti beras putih dengan beras merah atau brown rice, ternyata harganya di supermarket lebih mahal dari pada beras putih. Sebagian lagi mengatasinya dengan mengkonsumsi bekatul sebagai food supplement seperti saya sendiri sebagaimana saya ceritakan pada awal tulisan ini.

Berapa harga bekatul yang sudah diolah ini ? Sekitar Rp 12.500-Rp 15.000 sebungkus seberat 200 gram, atau sekitar Rp 50.000-Rp 75.000/kg………(!) Jelas bahwa dari segi harga ini juga menjadi pilihan yang bodoh. Mungkin kebodohan ”melekat” akibat dari pilihan beras yang salah diatas……..

Alangkah pintar dan bijaksananya leluhur kita dulu, dan alangkah beruntungnya mereka karena huller import dari Jepang dan China belum dikenal di Indonesia pada masa itu…… Apa sikap yang harus diambil jadinya ? Bagi yang belum yakin dengan informasi diatas silahkan menggalinya lebih lanjut untuk mencapai taraf haqul yakin.

Dan kalau sudah yakin, satu-satunya pilihan yang tepat adalah banting stir dan mulai mengkonsumsi beras merah (brown rice). mencegah adalah lebih baik daripada mengobati.


UNTUK INFORMASI KEAGENAN BROWN RICE

SILAHKAN HUBUNGI :

Mas Yudi
Telpon : +62219 173 8777
Mobile : +62812 293 8777
Mobile : +62815 186 8777

BBM : 2449 3824
Facs. : +62 21 719 3186

Twitter : @themasyudiway
email : masyudidavina@bismillah.com
http : //thedavinagroup.blogspot.com

0 Komentar: