Pages

Rabu, 20 April 2011

Menaklukkan Hati Perempuan Melalui Marketing 3.0




Jangan anggap remeh kebiasaan perempuan yang doyan bergosip. Bisa jadi apa yang mereka gosipkan adalah ketidakpuasan terhadap produk yang mereka gunakan. Hal ini akan menjadi bumerang ketika mereka mem-black list produk yang mengecewakan mereka. Kehilangan kredibilitas berarti kehilangan seluruh jaringan konsumen potensial. Dalam Marketing 3.0 pemasar harus bisa membidik pikiran dan spirit perempuan secara simultan untuk meraih hati mereka.





Word of Mouth yang ”Ampuh”

Kebiasaan ngerumpi (ngobrol, untuk kemudian menularkan informasi) merupakan kultur yang sudah mengakar dan identik dengan dunia perempuan. Stereotip gender ini setidaknya menempatkan perempuan sebagai makhluk yang lebih suka bersosialisasi dibanding laki-laki. Kebiasaan bertukar informasi secara informal ini sungguh bermanfaat ketika seorang perempuan akan membeli suatu produk, khususnya produk yang berharga bagi mereka. Rekomendasi teman melalui word of mouth akan menjadi sarana yang lebih ampuh, bahkan dibanding rekomendasi seorang ahli sekali pun. Fenomena ini rupanya telah membawa berkah bagi para pemasar, setidaknya mereka bisa membangun kredibilitas sebuah brand, yang berujung pada rekomendasi brand tersebut oleh satu konsumen ke konsumen lainnya, khususnya kalangan perempuan.




Apa yang mendasari sehingga word of mouth menjadi begitu penting khususnya di kalangan perempuan? Seorang perempuan dengan pengalaman penggunaan produk sebelumnya cenderung akan menularkan pengalaman produk tersebut kepada sesamanya. Di sini ada keterikatan informal antara satu konsumen dengan konsumen lainnya yang terbentuk secara alamiah. Keterikatan ini seolah-olah menjadikan bahwa konsumen satu dengan lainnya akan saling membela, mempengaruhi, bahkan melindungi terhadap dampak yang mungkin ditimbulkan oleh penggunaan produk atau brand tertentu.

Dalam era New Wave Marketing, telah terjadi kebangkitan yang signifikan mengubah paradigma marketing, dari vertikal ke horisontal. Horisontalisasi inilah yang mengakibatkan konsumen menjadi prioritas terdepan dalam kegiatan marketing. Perusahaan yang lebih mementingkan target penjualan tanpa diiringi dengan pembelaan terhadap konsumennya niscaya tidak akan berumur panjang.




Storytelling dalam Word of Mouth

Meskipun pilihan-pilihan yang diambil dan diputuskan oleh seorang perempuan memang sangat tergantung dari pengalaman hidupnya, termasuk pendidikan dan ekonomi, tetapi kebanyakan perempuan lebih percaya pada rekomendasi teman perempuannya dibanding yang lain. Bahkan, iklan rata-rata hanya menempati peringkat kelima dalam urutan sumber referensi yang dipercaya oleh konsumen khususnya perempuan.

Gerald dan Lindsay Zaltman (2008) mengatakan bahwa 95% keputusan pembelian suatu produk lebih didasarkan pada feeling dibandingkan thought (pikiran) yang hanya menempati porsi 5%. Dalam feeling saat akan mengambil keputusan terkandung pengalaman sebelumnya atau rekomendasi orang lain, di mana dalam rekomendasi terjalin suatu cerita tertentu mengenai produk atau brand tersebut.




Bagi perempuan, bangunan kisah di balik suatu produk atau brand yang dipilihnya menjadi sesuatu yang penting dan relatif berpengaruh terhadap pengambilan keputusan pembelian produk atau brand tertentu. Melibatkan perempuan dalam percakapan mengenai suatu brand akan menimbulkan perubahan yang positif terhadap brand tersebut. Bayangkan jika kemudian cerita positif tersebut menyebar dari satu perempuan ke perempuan lainnya.

Storytelling merupakan satu metodologi yang bagus untuk mengukur efektivitas word of mouth. Melalui storytelling akan tergambar sejauhmana suatu brand terlibat jauh dalam kehidupan konsumen sehingga konsumen mempunyai kesan khusus terhadap brand yang digunakan. Pengalaman dan kesan baik tentu saja berpotensi untuk ditularkan kepada konsumen lain.




Story behind the brand yang mengangkat isu-isu dunia perempuan, misalnya kesehatan, pendidikan, keadilan sosial dan privasi relatif menarik bagi perempuan dibanding suatu produk atau brand yang diperkenalkan tanpa misi tertentu. Sebagai contoh, kampanye pola makan yang seimbang dengan asupan gizi yang benar banyak dilakukan oleh perusahaan farmasi khususnya dalam mendekati segmen perempuan yang rawan obesitas. Isu kesehatan dengan cara membantu mengumpulkan lebih dari seratus juta dolar untuk riset kanker payudara pernah diperkenalkan oleh Avon, karena konsumen Avon mayoritas adalah perempuan. Isu keadilan sosial telah dipakai oleh Body Shop melalui program “Stop Violence in the Home” alias “Stop KDRT”. Secara konsisten Body Shop juga mendukung perdagangan yang adil (fair trade), keragaman tenaga kerja dan pemberdayaan perempuan.




Perempuan: Kelompok Perifer yang Potensial

Dalam segmentasi, seringkali perempuan menjadi pihak yang diremehkan. Padahal, perempuan merupakan market share yang potensial. Banyak perempuan yang tidak hanya memberikan kontribusi terhadap setengah dari pendapatan keluarga dan memiliki usaha, tetapi juga berperan sebagai penentu pembelian dalam rumah tangga. Perempuan juga bertindak sebagai pengambil keputusan untuk masalah-masalah penting seperti makanan dan kesehatan, di mana kedua aspek ini merupakan akar dari isu sosial yang berkaitan dengan kesehatan. Pemberdayaan konsumen akan lebih efektif kepada perempuan dibanding laki-laki. Silverstein dan Sayre (2009) menyatakan bahwa sebanyak 44% perempuan merasa tidak berdaya sehingga mereka akan mencari produk-produk atau brand-brand yang akan memberdayakan mereka.




Perempuan sangat menghargai brand yang bisa mereka percaya, jadi tidak semata-mata karena harga yang terjangkau. Brand tersebut harus bisa menjadi sebuah ikon bagi perempuan untuk menjawab kecemasan mereka dan keinginan untuk meningkatkan taraf kehidupan mereka. Perempuan yang sudah terpuaskan oleh produk atau brand tertentu akan menjadi duta yang bagus untuk mengkomunikasikan produk atau brand tersebut. Ada contoh menarik mengenai hal ini dari kasus Grameen Bank yang hanya memberikan pinjaman mikro kepada perempuan karena mereka dianggap berpengaruh dan mewakili konsumen mayoritas di segmen underserved (Kotler, Kartajaya dan Setiawan, 2010).




Dengan semakin majunya kondisi saat ini, di mana perempuan semakin banyak yang memanfaatkan social media untuk mengakses informasi, maka kegiatan sharing mengenai produk atau brand yang mereka gunakan menjadi semakin luas dan nyaris tanpa batas. Kaum perempuan akan saling berbicara dan menciptakan topik perbincangan di dalam komunitas, baik online maupun offline. Perusahaan yang secara cerdas memanfaatkan fenomena ini akan menjadi lebih eksis di mata perempuan. Apalagi bila mereka bisa menciptakan karakter yang relevan dengan kehidupan atau dunia perempuan. (Nastiti Tri Winasis, MarkPlus Insight)

*Ilustrasi dari : Album foto "Best of The Best" The Mas Yudi Way

0 Komentar: